Senin, 02 Mei 2011

Menelusuri keindahan kabupaten Gianyar (tempat guide freelancer anda berasal )


Kurang pas ketika kita mulai mengenal keragaman dan khasanah suatu daerah  tanpa mengenal sejarah dari kota tersebut .
Sejarah Kota Gianyar ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar No.9 tahun 2004 tanggal 2 April 2004 tentang Hari jadi Kota Gianyar.
Sejarah dua seperempat abad lebih, tempatnya 236 tahun yang lalu, 19 April 1771, ketika Gianyar dipilih menjadi nama sebuah keraton, Puri Agung yaitu Istana Raja (Anak Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti maka sebuah kerajaan yang berdaulat dan otonom telah lahir serta ikut pentas dalam percaturan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Bali. Sesungguhnya berfungsinya sebuah kerton yaitu Puri Agung Gianyar yang telah ditentukan oleh syarat sekala niskala yang jatuh pada tanggal 19 April 1771 adalah tonggak sejarah yang telah dibangun oleh raja (Ida Anak Agung) Gianyar I, Ida Dewata Manggis Sakti memberikan syarat kepada kita bahwa proses menjadi dan ada itu bisa ditarik kebelakang (masa sebelumnya) atau ditarik kedepan (masa sesudahnya).
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis. di wilayah Gianyar sekarang dapat diinterprestasikan bahwa munculnya komunikasi di Gianyar sejak 2000 tahun yang lalu karena diketemukannya situs perkakas (artefak) berupa batu, logam perunggu yaitu nekara (Bulan Pejeng), relief-relief yang menggambarkan kehidupan candi-candi atau goa-goa di tebing-tebing sungai (tukad) Pakerisan.
Setelah bukti-bukti tertulis ditemukan berupa prasasti diatas batu atau logam terindetifikasi situs pusat-pusat kerajaan dari dinasti Warmadewa di Keraton Singamandawa, Bedahulu. Setelah ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) dapat menguasai Pulau Bali maka di bekas pusat markas laskarnya dirikan sebuah Keraton Samprangan sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang dipegang oeleh Raja Adipati Ida Dalem Krena Kepakisan (1350-1380), sebagai cikal bakal dari dinasti Kresna Kepakisan, Kemudian Keraton Samprangan berusia lebih kurang tiga abad. Lima Raja Bali yang bergelar Ida Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460),2) Ida Dalem Waturenggong (1460-1550),3) Ida Dalem Sagening (1580-1625) dan 5) Ida Dalem Dimade (1625-1651). Dua Raja Bali yang terakhir yaitu Ida Dalem Segening dan Ida Dalem Dimade telah menurunkan cikal bakal penguasa di daerah-daerah. Ida Dewa Manggis Kuning (1600-an) penguasa di Desa Beng adalah cikal bakal Dinasti Manggis yang muncul setelah generasi II membangun Kerajaan Payangan (1735-1843). Salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal dinasti raja-raja di Sukawati (1711-1771) termasuk Peliatan dan Ubud. Pada periode yang  sama yaitu periode Gelgel muncul pula penguasa-penguasa daerah lainnya yaitu I Gusti Ngurah Jelantik menguasai Blahbatuh dan kemudian I Gusti Agung Maruti menguasai daerah Keramas yang keduanya adalah keturunan Arya Kepakisan.
Dinamika pergumulan antara elit tradisional dari generasi ke generasi telah berproses pada momentum tertentu, salah seorang diantaranya sebagai pembangunan kota keraton atau kota kerajaan pusat pemerintahan kerajaan yang disebut Gianyar. Pembangunan Kota kerajaan yang berdaulat dan memiliki otonomi penuh adalah Ida dewa Manggis Sakti, generasi IV dari Ida Dewa Manggis Kuning. Sejak berdirinya Puri Agung Gianyar 19 April  1771 sekaligus ibu kota Pusat Pemerintah Kerajaan Gianyar adalah tonggak sejarah. Sejak itu dan selama periode sesudahnya Kerajaan Gianyar yang berdaulat, ikut mengisi lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Bali yangterdiri atas sembilan kerajaan di Klungkung, Karangasem, Buleleng, Mengwi, Bangli, Payangan, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Namun sampai akhir abat ke-19, setelah runtuhnya Payangan dan Mengwi di satu pihak dan munculnya Jembrana dilain pihak maka Negaraa): Klungkung, Karangasem, Bangli dan Gianyar (ENI, 1917).
Ketika Belanda telah menguasai seluruh Pulau Bali, Kedelapan bekas kerajaan tetap diakui keberadaannya oleh Pemerintah Guberneurmen namun sebagai bagian wilayah Hindia Belanda yang dikepalai oleh seorang raja (Selfbestuurder) di daerah Swaprajanya masing-masing. Selama masa revolusi, ketika daerah Bali termasuk dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) otonomi daerah kerjaan (Swapraja) kedalam sebuah lembaga yang disebut Oka, Raja Gianyar diangkat sebagai Ketua Dewan Raja-raja menggantikan tahun 1947. Selain itu pada periode NTT dua tokoh lainnya yaitu Tjokorde Gde Raka Sukawati (Puri Kantor Ubud) menjadi Presiden NIT, dan Ida A.A. Gde Agung (Puri Agung Gianyar) menjadi Perdana Menteri NIT, Ketika  Republik Indonesia Serikat (RIS) kembali ke Negara Kesatuan (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, maka daerah-daerah diseluruh Indonesia dengan dikeluarkan Undang-undang N0. I tahun 1957, yang pelaksanaannya diatur dengan Undang-Undang No.69 tahun 1958 yang mengubah daerah Swatantra Tingkat II (Daswati II). Nama Daswati II berlaku secara seragam untuk seluruh Indonesia sampai tahun 1960. Setelah itu diganti dengan nama Derah Tingkat II (Dati II).
Namun Bupati Kepala Derah Tingkat II untuk pertama kalinya dimilai pada tahun 1960. Bupati pertama di DatiII Gianyar adalah Tjokorda Ngurah (1960-1963). Bupati berikutnya adalah Drh. Tjokorda Anom Pudak (1963-1964) dan Bupati I Made Sayoga, BA (1964-1965).
Ketika dilaksanakannya Undang-Undang No. 18 tahun 1965, maka DATI II diubah dengan nama Kabupaten DATI II. Kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 tahun 1974 yang menggantikan nama Kabupaten. Kepala daerahnya tetap disebut Bupati.
Sejak tahun 1950 sampai sekarang yang hampir lima dasawarsa lebih telah tercatat sembilan orang Kepala Pemerintahan/Bupati Gianyar yaitu: 1. A.A. Gde Raka (1950-1960),2) Tjokorde Ngurah (1960-1963),3) Drh. Tjokorde Dalem Pudak (1963-1964), 4) I Made Sayonga (1964-1965),5) Bupati I Made Kembar Kerepun (1965-1969), 6) Bupati A.A. Gde Putra, SH (1969-1983), 7) Bupati Tjokorda Raka Dherana, SH (1983-1993), 8)Bupati Tjokorda Gde Budi Suryawan, SH (1993-2003), dan 9) Bupati A.A.G. Agung Bharata, SH (2003-2008). Dari sisi otonomi jelas nampak, proses perkembangan yang terjadi di Kota Gianyar. Otonomi dan berdaulat penuh melekat pada Pemerintah kerjaan sejak 19 April 1771 kemudian berproses sampai otonomi Daerah di Tingkat II Kabupaten yang diberlakukan sampai sekarang.
Berbagai gaya kepemimpinan dan seni memerintah dalam sistem otonomi telah terparti di atas lembaran Sejarah Kota Gianyar. Proses dinamika otonomi cukup lama sejak 19 April 1771 sampai 19 April 2005 saat ini, sejak kota keraton dibangun menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang otonomi sampai sebuah kota kabupaten, nama Gianyar diabadikan. Sampai saat ini telah berusia 234 tahun, para pemimpin wilayah kotanya, dari raja (kerajaan) sampai Bupati (Kabupaten), memilikiciri dan gaya serta seni memerintah sendiri-sendiri di bumi seniman. Seniman yang senantiasa membumi di Gianyar dan bahkan mendunia.


Berikut adalah gambar landmark Kota Gianyar , ada tepat di pusat Kota Gianyar bila perjalanan anda dari kota Denpasar sekitar 35 menit . 

Landmark kota yang berada di batas-batas kota. Pengunjung yang memasuki kota dari arah barat akan menemukan dua patung bercat putih, berupa Dewa Wisnu yang menunggangi kendaraan saktinya Garuda tengah bertarung dengan sosok raksasa dan satu lagi berupa patung kereta kuda dengan Arjuna dan Krisna tengah bertarung di medan perang Kurusetra. Kedua patung tersebut dibangun oleh kreativitas seniman Bali yang banyak ditemui di pelosok Gianyar. Keberadaan kedua patung tersebut juga menunjukkan betapa lekatnya nuansa religius dalam kehidupan masyarakat kota. Didukung dengan kreativitas warga kota dalam berkesenian, religiusitas tersebut diwujudkan menjadi patung dengan inspirasi kisah pewayangan, sekaligus mengingatkan atas kepercayaan terhadap karma phala (hasil perbuatan) sebagai keutamaan bagi warga Kota Gianyar yang sebagian penduduknya beragama Hindu. Patung yang pertama mengisahkan perebutan Tirta Amerta (air suci yang dapat membuat kekal kehidupan peminumnya) antara dewa dan raksasa (butha kala) yang dimenangkan oleh para dewa. Patung yang kedua merupakan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa dalam epik Mahabaratha.

Dan berikut landmark kota Gianyar yang dekat dengan pusat pemerintahan dan kantor orang nomor 1 di kabupaten Gianyar.


Memasuki kota dari arah timur dapat menemukan sosok patung Arjuna yang tengah bersiap melepaskan anak panah dengan mata panah ke arah pusat kota. Patung ini sekaligus menjadi petunjuk arah bagi mereka yang mamasuki kota untuk menuju pusat kota. Detail dan kemegahan dari patung tersebut menciptakan impresi bahwa Kota Gianyar merupakan kota dengan warganya yang nyeni (berkesenian). Selain itu, identitas Kota Gianyar didukung dengan patung, dan bangunan yang bernuansakan budaya lokal yang banyak dipengaruhi tradisi leluhur maupun agama Hindu.
Meskipun kota ini bukanlah sentra kerajinan, tidak seperti Ubud maupun Sukawati, dua kota kecamatan lainnya di Kabupaten Gianyar, kreativitas warga kota ditunjukkan dengan bangunan-bangunan dengan ragam dan motif tradisional. Bangunan yang menonjol adalah Sasana Budaya yang terletak di pusat kota lama. Bangunan ini digunakan sebagai pusat pertunjukkan seni maupun pameran. Tangga yang tinggi menuju pintu masuk memberikan kesan megah. Atapnya berjenjang dan di sisi bangunan berdiri menara yang biasanya digunakan untuk meletakkan kulkul (alat komunikasi tradisional menyerupai kentongan). Letaknya yang berada di Puri Agung Gianyar masih mendukung keberadaannya zona pusat kota lama agar tetap lestari. Kreativitas lainnya yang nampak secara visual dari kota ini adalah keberadaan bangunan perkantoran pemerintah dan pusat perbelanjaan yang modern dipadukan dengan motif pahatan tradisional pada sisi-sisi bangunan tertentu. Selain karena desakan eksternal berupa Perda nomor 2, 3 dan 4 tahun 1977, salah satu yang menarik untuk disoroti adalah keberadaan mall di dekat Puri Agung Gianyar yang tetap menampilkan ornamen dan bentuk tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi yang berkembang dari sebuah kota dapat tetap diwadahi oleh arsitektur tradisional Bali. Kondisi ini jauh berbeda dengan kota-kota lainnya di Bali yang telah mulai tergerus dengan modernitas. Kondisi ini menunjukkan kreativitas dalam masyarakat modern tidak musti diwujudkan dengan meninggalkan yang tradisional, melainkan secara sadar dan terus-menerus menggali bentuk dan ornamen yang disesuaikan dengan zaman.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger